Kasus Freeport, Hilangnya Nurani Pemerintah
Sabtu, 26
November 2011 | 18:56 WIB
KOMPAS/RIZA
FATHONI
Puluhan
Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) berunjuk rasa di depan Kantor PT Freeport
Indonesia di Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, Rabu (2/11/2011). Mereka
menuntut PT Freeport meninggalkan Indonesia karena dianggap membuat rakyat
Indonesia menderita.
Oleh Dr.
(cand.) Dewi Aryani, M.Si
Situasi politik dan keamanan di Papua hingga kini
masih memanas. Diawali dengan aksi penembakan yang terjadi berulang kali
terhadap karyawan PT Freeport dan unjuk rasa oleh karyawan yang menuntut
kesejahteraan.
"Gejolak
Papua Freeport bukan kali ini saja terjadi. Selama 44 tahun aktivitas
pertambangan PT Freeport Indonesia di Papua telah menorehkan catatan buruk bagi
penghormatan hak asasi manusia."
Kejadian berlanjut dengan aksi penembakan yang menimpa
Kapolsek Kota Mulia, Ajun Komisaris Dominggus Otto Awes. Kemudian penembakan
pos Brimob dan berbagai gejolak lainnya. Hingga saat ini, belum satu pun pelaku
pembunuhan yang terungkap identitasnya dengan jelas dan gamblang.
Gejolak Papua (Freeport) bukan kali ini saja terjadi.
Selama 44 tahun aktivitas pertambangan PT Freeport Indonesia di Papua telah
menorehkan catatan buruk bagi penghormatan hak asasi manusia (HAM) Indonesia di
mata internasional. Kerusakan lingkungan, kemiskinan masyarakat lokal,
perampokan hak ulayat, kekerasan, dan pembunuhan yang berulang terjadi terhadap
manusia Papua di sekitar Freeport telah menjadi keprihatinan komunitas
nasional, bahkan internasional.
Namun, sejauh ini belum ada solusi administratif,
sistematis, dan holistik yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi
permasalahan yang telah berlarut-larut. Bila kita jujur, sesungguhnya akar
permasalahan carut-marut Freeport ada pada Kontrak Karya PT Freeport itu
sendiri. Wajah kebijakan pertambangan yang rapuh hingga sistem administrasi
yang korup.
Kontrak karya, berpihak siapa?
Sejauh ini, PT Freeport Indonesia telah melakukan
eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Ertsberg (1967 s.d.
1988) dan tambang Grasberg (1988-sekarang), di kawasan Tembagapura, Kabupaten
Mimika.
Pada tanggal 5 April 1967, Kontrak Karya (KK) I antara
pemerintah Indonesia dan Freeport Sulphur Company, melalui anak perusahannya PT
Freeport Indonesia Incorporated (Freeport) ditandatangani. Peristiwa ini
menjadi penandatanganan KK Generasi I di Indonesia. Tak hanya itu, KK ini juga
menjadi dasar penyusunan Undang-Undang Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967 yang
disahkan pada bulan Desember 1967, atau delapan bulan berselang setelah
penandatanganan KK.
Lahan ekplorasi yang diserahkan pemerintah kepada
Freeport mencakup areal seluas 10.908 hektare untuk lama kontrak 30 tahun,
terhitung sejak kegiatan komersial pertama dilakukan. Pada bulan Desember 1972,
pengapalan 10.000 ton tembaga dari tambang Ertsberg dilakukan untuk kali
pertamanya ke Jepang.
Kontrak Karya I mengandung banyak kelemahan mendasar
dan sangat merugikan pihak Indonesia. Dalam operasi pertambangan, pemerintah
Indonesia tidak mendapatkan manfaat yang proposional dengan potensi ekonomi
yang sangat besar di wilayah pertambangan tersebut. Akibat belum adanya
ketentuan tentang lingkungan hidup saat itu, sejak dari awal Freeport telah
membuang tailing ke Sungai Ajkwa sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan.
Pengaturan perpajakan sama sekali tidak sesuai dengan
pengaturan dalam UU Perpajakan yang berlaku, misalnya, Freeport tidak wajib
membayar PBB atau PPN. Tidak ada kewajiban bagi Freeport untuk melakukan
community development. Akibatnya, keberadaan Freeport di Irian Jaya tidak
memberi dampak positif secara langsung terhadap masyarakat setempat.
Freeport juga memperoleh kelonggaran fiskal antara
lain, tax holiday selama 3 tahun pertama setelah mulai produksi. Untuk tahun
berikutnya selama 7 tahun, Freeport hanya dikenakan pajak sebesar 35%. Setelah
itu, pajak yang dikenakan meningkat menjadi sekitar 41,75%.
Kita tidak mempunyai data yang akurat tentang berapa
besar produk tambang yang sudah dihasilkan dari tambang Ertsberg. Dalam
perencanaan dan kesepakatan awal, tampaknya disetujui bahwa wilayah tambang ini
hanya akan memproduksi tembaga, dan ini yang menjadi dasar mengapa pada awalnya
lokasi pertambangan dinamakan Tembagapura.
Di samping tembaga, tambang Ertsberg ternyata juga
menghasilkan emas. Emas, yang semula dinilai hanyalah by product, belakangan
menjadi produk utama Freeport. Hal ini konon disebabkan semakin tingginya
konsentrat emas dan perak dalam bahan galian dan dalam deposit yang ditemukan.
Kita tidak terlalu yakin tentang klaim emas adalah by
product ini, karena pada saat itu tidak ada orang Indonesia yang mengikuti
proses pemurnian konsentrat. Apalagi, pada periode awal penambangan, pemurnian
konsentrat dilakukan di luar negeri, baik di Jepang maupun di Amerika. Di
samping itu, Freeport pun belum menjadi perusahaan terbuka yang harus
menjalankan prinsip good corporate governance. Dengan demikian, bisa saja sejak
awal sebenarnya Freeport telah menghasilkan emas dan atau bahkan perak, tetapi
hal ini tidak dideklarasikan, atau disengaja disembunyikan dari pemerintah.
Pada tahun 1995, Freeport baru secara resmi mengakui
menambang emas di Papua setelah (1973-1994) mengaku hanya sebagai penambang
tembaga. Jumlah volume emas yang ditambang selama 21 tahun tersebut tidak
pernah diketahui publik, bahkan oleh orang Papua sendiri.
Keuntungan yang sangat besar terus diraih Freeport,
hingga Kontrak Karya I diperpanjang menjadi Kontrak Karya II yang tidak
direnegosiasi secara optimal. Indonesia ternyata tidak mendapatkan manfaat
sebanding dengan keuntungan besar yang diraih Freeport. Ketentuan-ketentuan
fiskal dan finansial yang dikenai kepada Freeport ternyata jauh lebih rendah
jika dibandingkan dengan yang berlaku negara-negara Asia dan Amerika Latin.
Perpanjangan Kontrak Karya II seharusnya memberi
manfaat yang lebih besar karena telah ditemukannya potensi cadangan baru yang
sangat besar di Grasberg. Kontrak telah diperpanjang pada tahun 1991, padahal
Kontrak Karya I baru berakhir pada tahun 1997.
Kontrak Karya II ini tidak banyak mengalami perbaikan
untuk memberikan keuntungan finansial tambahan yang berarti bagi pihak
Indonesia. Perubahan yang terjadi hanyalah dalam hal kepemilikan saham dan
dalam hal perpajakan. Sementara itu, besarnya royalti tidak mengalami perubahan
sama sekali, meskipun telah terjadi perubahan jumlah cadangan emas. Penemuan
emas di Grasberg merupakan cadangan emas terbesar di dunia.
Dalam Kontrak Karya II, ketentuan menyangkut royalti
atau iuran eksploitasi/produksi (Pasal 13), menjelaskan bahwa sistem royalti
dalam kontrak Freeport tidak didasarkan atas persentase dari penerimaan
penjualan kotor (gross revenue), tetapi dari persentase penjualan bersih.
Penjualan bersih adalah penjualan kotor setelah dikurangi dengan biaya
peleburan (smelting), biaya pengolahan (refining), dan biaya-biaya lainnya yang
dikeluarkan Freeport dalam penjualan konsentrat. Persentase royalti yang
didasarkan atas prosentase penerimaan penjualan bersih juga tergolong sangat
kecil, yaitu 1%-3,5% tergantung pada harga konsentrat tembaga, dan 1% flat
fixed untuk logam mulia (emas dan perak).
Di dalam kontrak Freeport, besaran iuran tetap untuk
wilayah pertambangan yang dibayarkan berkisar antara US$ 0,025-0,05 per hektar
per tahun untuk kegiatan Penyelidikan Umum (General Survey), US$ 0,1-0,35 per
hektare per tahun untuk kegiatan Studi Kelayakan dan Konstruksi, dan US$ 1,5-3
per hektare per tahun untuk kegiatan operasi eksplotasi/produksi. Tarif iuran
tersebut, di seluruh tahapan kegiatan, dapat dikatakan sangat kecil, bahkan
sangat sulit diterima akal sehat. Dengan kurs 1 US$ = Rp9.000,00 maka besar
iuran Rp225,00 hingga Rp27.000,00 per hektare per tahun.
Menyangkut pengawasan atas kandungan mineral yang
dihasilkan, dalam kontrak Freeport tidak ada satu pun yang menyebut secara
eksplisit bahwa seluruh operasi dan fasilitas pemurnian dan peleburan harus
seluruhnya dilakukan di Indonesia dan dalam pengawasan Pemerintah Indonesia.
Pasal 10, poin 4 dan poin 5, memang mengatur tentang operasi dan fasilitas
peleburan dan pemurnian tersebut yang secara implisit ditekankan perlunya untuk
dilakukan di wilayah Indonesia. Namun, tidak secara tegas dan eksplisit bahwa
hal tersebut seluruhnya (100%) harus dilakukan atau berada di Indonesia. Hingga
saat ini, hanya 29% saja dari produksi konsentrat yang dimurnikan dan diolah di
dalam negeri. Sisanya (71%) dikirim ke luar negeri, di luar pengawasan langsung
dari pemerintah Indonesia.
Di dalam Kontrak Freeport, tidak ada satu pasal pun
yang secara eksplisit mengatur bahwa pemerintah Indoensia dapat sewaktu-waktu
mengakhiri Kontrak Freeport. Pun, jika Freeport dinilai melakukan
pelanggaran-pelanggaran atau tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan kontrak.
Sebaliknya, pihak Freeport dapat sewaktu-waktu mengakhiri kontrak tersebut jika
mereka menilai pengusahaan pertambangan di wilayah kontrak pertambangannya
sudah tidak menguntungkan lagi secara ekonomis.
Melalui KK II, wilayah penambangan Freeport saat ini
mencakup wilayah seluas 2,6 juta hektare atau sama dengan 6,2% dari luas Irian
Jaya. Bandingkan dengan pada awal beroperasinya Freeport yang hanya mendapatkan
wilayah konsesi seluas 10.908 hektare.
Indonesia sewajarnya mendapat manfaat yang proposional
dari tambang yang dimiliki. Hal ini bisa dicapai jika KK yang ditandatangani
antara lain berisi ketentuan-ketentuan yang adil, transparan, dan memihak
kepentingan negara dan rakyat. Ternyata pemerintah pada masa lalu, hingga saat,
ini tidak mampu mengambil manfaat optimal.
Pihak lain yang menikmati
Pada tahun 1981 Freeport Mineral, Inc. melakukan
merger dengan McMoran Oil and Gas, Inc. dan membentuk Freeport Mineral, Inc.
Aset utamanya adalah potensi besar tembaga, emas, dan perak yang tersimpan di
Gunung Ertsberg.
Pada tahun 1987 Freeport McMoran membentuk anak perusahaan
bernama Freeport McMoran Copper Company, Inc. dengan menjual 85,4% dari
sahamnya pada PT Freeport Indonesia Inc. Setelah ditemukannya Grasberg, yang
menyimpan deposit tembaga nomor 3 terbesar dan tambang emas terbesar di dunia,
pada 1988 Freeport McMoran Copper Company, Inc (FCX) mendaftarkan diri ke New
York Stock Exchange (NYSE).
Saat itu, Freeport menjual 5.000.000 lembar saham
(23,4%) melalui Initial Public Offering (IPO) dan memperoleh sebesar US$ 3,31
miliar. Kemudian pada bulan Januari 1991, anak perusahaan tersebut merubah
namanya menjadi Freeport McMoran Copper & Gold Company, Inc.
Rakyat Indonesia harus menyadari pelajaran dan
kebodohan dari kasus penjualan saham ini. Sumberdaya alam milik negara dan
rakyat Indonesia telah dijual dan digadaikan oleh Freeport kepada para investor
di pasar modal, di negeri orang. Dari hasil penjualan itu, Freeport memperoleh
modal dan peningkatan value perusahaan yang sangat besar. Karena tidak memiliki
saham signifikan dan otomatis tidak ikut mengelola perusahaan, keuntungan
peningkatan modal dan value ini tidak turut dinikmati oleh bangsa Indonesia.
Rakyat hanya menjadi penonton atas kenikmatan yang diperoleh asing dan perilaku
penjajahan ini.
Rapuhnya kebijakan pertambangan yang diterapkan
pemerintah kembali terlihat dalam KK V Freeport. Meskipun dalam KK V posisi
tawar pemerintah sedikit diuntungkan, hal ini dapat dikatakan sebagai hal yang
wajar karena Indonesia adalah pemilik sumberdaya alam mineral tambang yang
dikelola Freepot.
Beralihnya KK II menjadi KK V mewajibkan Freeport
mengalihkan saham ke pihak nasional Indonesia, dengan ketentuan pengalihan
sampai dengan 51 persen saham kepada perusahaan/perorangan nasional dalam waktu
20 tahun. Pemerintah Indonesia sebelumnya telah mendapat 8,5 persen dari saham
Freeport pada tahun 1976 dan menjadi 10 persen hingga 1998. KK V juga
menentukan, lima tahun setelah penandatanganan kontrak Freeport 20 persen
sahamnya sudah harus dimiliki oleh pihak nasional Indonesia.
Ketentuan divestasi saham kepada pemerintah secara
umum berlaku untuk semua perusahaan yang menandatangani KK Generasi V. Namun,
pada saat itu, umumnya perusahaan yang menandatangani KK Generasi V masih
berada dalam tahap penyelidikan umum atau eksplorasi, kecuali Freeport yang
sudah berada dalam tahap produksi.
Saham Freeport yang harus dialihkan dalam waktu 5
tahun pertama adalah sebesar 10 persen. Karena dalam kurun waktu lima tahun
setelah KK ditandatangani Freeport telah merencanakan akan melakukan investasi
besar-besaran di Grasberg, pihak perusahaan pertambangan ini berharap bahwa
ketentuan divestasi dalam KK Generasi V dapat diperingan, khusus bagi Freeport.
Freeport berhasil. pemerintah kemudian mengeluarkan PP Nomor 20 Tahun 1994
tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka Penanaman
Modal Asing yang mengizinkan investasi asing secara penuh (100%). Peraturan
Pemerintah ini dikeluarkan pada tahun 1994, sedangkan KK V dengan Freeport
ditandatangani pada bulan Desember 1991, atau 3 tahun sebelum PP No.20
dikeluarkan. Dengan PP No.20 ini pula, kesempatan pemerintah untuk ikut
memiliki saham mayoritas di Freeport menjadi hilang.
Lebih lanjut, kita mencatat bagaimana pemerintah telah
bertindak merugikan negara dengan sengaja tidak memanfaatkan kesempatan membeli
10% saham, yang merupakan kelanjutan program divestasi 20% saham Freeport.
Pemerintah justru memberikan kesempatan itu kepada Grup Bakrie. Ketika itu,
Menteri Keuangan hanya menyetujui peningkatan pemilikan saham Indonesia dari 9
persen menjadi 10 persen. Menteri Keuangan dengan sengaja tidak menghendaki
saham pemerintah lebih dari 10 persen. Karena itu, kemudian Freeport menjual
sahamnya kepada grup Bakrie. Masalah pembelian saham oleh Bakrie Brothers ini
mendapat sorotan dari berbagai kalangan, antara lain dari Kejaksaan Agung.
Pemiskinan Papua, pemerintah terkesan ‘buta’
Di sisi lain, pemiskinan terus berlangsung di wilayah
Mimika. Kesejahteraan penduduk Papua tak secara otomatis terkerek naik dengan
kehadiran Freeport yang ada di wilayah mereka tinggal. Di wilayah operasi
Freeport, sebagian besar penduduk asli berada di bawah garis kemiskinan dan
terpaksa hidup mengais emas yang tersisa dari limbah Freeport. Selain
permasalahan kesenjangan ekonomi, aktivitas pertambangan Freeport juga merusak
lingkungan secara masif serta menimbulkan pelanggaran HAM.
Timika bahkan menjadi tempat berkembangnya penyakit
mematikan, seperti HIV/AIDS. Tercatat, jumlah tertinggi penderita HIV/AIDS
Indonesia berada di Papua. Keberadaan Freeport juga menyisakan persoalan
pelanggaran HAM yang terkait dengan tindakan aparat keamanan Indonesia pada
masa lalu dan kini. Hingga kini, tidak ada satu pun pelanggaran HAM yang
ditindaklanjuti serius oleh pemerintah bahkan terkesan diabaikan, pemerintah
terkesan ‘buta’ .
Kegagalan pembangunan di Papua dapat dilihat dari
buruknya angka kesejahteraan manusia di Kabupaten Mimika. Penduduk Kabupaten
Mimika, lokasi di mana Freeport berada, terdiri atas 35% penduduk asli dan 65%
pendatang. Hampir seluruh penduduk miskin Papua adalah warga asli Papua.
Di sisi lain, pendapatan pemerintah daerah Papua
demikian bergantung pada sektor pertambangan. Sejak tahun 1975-2002 sebanyak 50
persen lebih PDRB Papua berasal dari pembayaran pajak, royalti dan bagi hasil
sumber daya alam tidak terbarukan, termasuk perusahaan migas. Artinya
ketergantungan pendapatan daerah dari sektor ekstraktif akan menciptakan
ketergantungan dan kerapuhan yang kronik bagi wilayah Papua ke depan.
Pada tahun 2005 terlihat Pendapatan Domestik Bruto
(PDB) Papua menempati peringkat ke 3 dari 30 provinsi di Indonesia. Namun,
Indeks Pembangunan Manusi (IPM) Papua, yang diekspresikan dengan tingginya
angka kematian ibu hamil dan balita karena masalah-masalah kekurangan gizi,
berada di urutan ke-29. Lebih parah lagi, kantong-kantong kemiskinan tersebut
berada di kawasan konsesi pertambangan Freeport.
Hilangnya nurani pemerintah
Freeport telah mendapatkan keuntungan yang melimpah
dari sumberdaya mineral di Papua. Keuntungan tersebut telah menjadikan Freeport
berubah dari perusahaan gurem, tak dikenal, menjadi perusahaan tambang raksasa
di dunia hanya dalam waktu singkat. Namun, patut diduga perubahan menjadi
perusahaan raksasa ini diperoleh dengan berbagai penyelewengan, manipulasi,
dugaan KKN, tekanan politik dan jauh dari kaidah-kaidah bisnis dan pola hubungan
bisnis dan negara yang terpuji dan beradab.
Menghadapi kondisi demikian, seharusnya pemerintah
Indonesia bersikap lebih percaya diri menggunakan posisi tawar yang tinggi
untuk mendapatkan hasil eksploitasi sumberdaya yang optimal. Indonesia pemilik
kekayaan, ‘mereka’ yang datang ke sini untuk mengais rezeki, bukan sebaliknya!
Pemerintah telah kehilangan nurani, yang seharusnya
saat ini harus berani mengambil langkah tegas menindak Freeport yang
jelas-jelas telah melanggar hukum. Sementara dasar hukum untuk itu sudah
tersedia. Undang-Undang tentang Lingkungan Hidup, Undang-Undang Kehutanan dan
Perpajakan dapat dipergunakan bila memang ada niat baik dari pemerintah untuk
menghentikan ulah Freeport ini. Langkah pertama, dengan melakukan audit
lingkungan dan audit keuangan terhadap Freeport.
Pemerintah tidak boleh terus membiarkan ketidakadilan
ini. Karena itu, langkah berikutnya adalah pemerintah harus percaya diri
mengkaji ulang dan mengoreksi kebijakan serta isi KK Freeport. KK dengan
Freeport harus diubah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Undang-undang ini memerintahkan agar seluruh KK yang
beroperasi di Indonesia sebelum UU ini terbit, harus disesuaikan. Secara
spesifik, Pasal 169 butir b pada Bab Peralihan telah mengamanatkan agar isi
Kontrak Karya, tanpa terkecuali Kontrak Karya Freeport, agar disesuaikan dengan
isi UU tersebut paling lambat satu tahun sejak UU disahkan. Dan ini adalah
perintah UU. Karena itu, pemerintah harus percaya diri mengubah isi KK
Freeport. Pemerintah yang tidak melaksanakan perintah UU tidak layak
dipertahankan.
*Anggota
Komisi VII DPR RI
Pembahasan
dan analisis
1. Jenis
pelanggaran etika?
Dalam kasus ini, jenis pelanggaran etika
yang terjadi adalah dari sisi ekonomi, lingkungan dan HAM.
2. Siapa
yang melakukan?
Pelaku dari pelanggaran etika ini yaitu
pihak PT. Freeport
3. Apa
akibatnya?
Akibat yang terjadi di dalam kasus ini
adalah perusakan lingkungan akibat limbah yang dihasilkan serta eksplorasi
secara besar-besaran tanpa menguntungkan pihak Indonesia maupun penduduk
sekitar selaku penduduk asli yang sangat dirugikan, baik ekonomi (tidak
sesuainya bayaran yang diterima) maupun pencemaran lingkungan.
4. Apa
tindakan pemerintah terhadap pelaku?
Tindakan yang diambil pemerintah sampai
saat ini belum mampu berbuat lebih untuk saling menguntungkan. Malah terkesan
lamban dalam menyelesaikan kasus ini sehingga berlarut-larut. Seharusnya pemerintah
mampu bersikap dan menindak pelaku karena melanggar pasal-pasal yang berlaku.
5. Melanggar
UU pasal berapa?
pasal 2 Undang Undang Perindustrian yang berbunyi
“Pembangunan industri berlandaskan demokrasi ekonomi, kepercayaan pada
kemampuan dan kekuatan diri sendiri, manfaat, dan kelestarian lingkungan hidup”
dilanggar oleh perusahaan ini. Menurut perhitungan Freeport sendiri,
penambangan yang dilakukan bisa menghasilkan limbah sebesar 6 milliar ton.
Sebagian besar limbah tersebut dibuang ke daerah pegunungan sekitar tempat
tambang atau sungai sekitar daerah penambangan dan hutan hujan tropis. Tentu
saja ini menimbulkan kerusakan lingkungan dan pencemaran terhadap tanah dan
air. Hal ini tidak sesuai dengan pasal 2 tersebut.
Dalam pasal 21 juga disebutkan bahwa perusahaan wajib
melaksanakan upaya kelestarian dan keseimbangan sumber daya alam dan mencegah
perusakan dan ketidakseimbangan lingkungan akibat kegiatan industry yang
dilakukannya. Pembuangan limbah industri Freeport yang seenaknya saja akan
menyebabkan kerusakan lingkungan yang sangat fatal. Bukan hanya daerah sekitar
penambangan, tapi juga ekosistem pada daerah tersebut sudah tidak lagi terjaga.
Rantai makanan menjadi terputus akibat limbah-limbah tersebut. Lagi-lagi
pelanggaran besar dilakukan Freeport.
Atas pelanggaran yang telah dilakukannya ini sudah
seharusnya Freeport diberi sanksi. Sesuai dengan Undang Undang Perindustrian
pasal 24 bahwa sanksi yang dijatuhkan berupa denda sebesar Rp 25.000.000 dengan
tambahan hukuman pencabutan ijin usaha. Hukum ini sebenarnya sudah jelas dan
sangat tegas terhadap pelanggaran yang ada. Namun pada kenyataannya penerapan
Undang Undang ini masih belum berjalan. Pemerintah Indonesia seharusnya
menjatuhkan sangsi tegas pada perusahaan ini.
Kesimpulan
Menghadapi kondisi demikian, seharusnya pemerintah
Indonesia bersikap lebih percaya diri menggunakan posisi tawar yang tinggi
untuk mendapatkan hasil eksploitasi sumberdaya yang optimal. Indonesia pemilik
kekayaan, ‘mereka’ yang datang ke sini untuk mengais rezeki, bukan sebaliknya!
Berapa emas yang telah di raup sejak dulu yang tidak
diketahui sebenarnya oleh publik, padahal di kontrak pertama hanya tertera
perjanjian mengeruk tembaga. Ini merupakan pembodohan yang luar biasa,
mengingat seharusnya kekayaan suatu negara untuk mensejahterakan warga
negaranya akan tetapi malah menguntungkan pihak lain. Seperti yang tertera pada
wacana di atas dalam kontrak-kontrak selanjutnya, “Di dalam Kontrak Freeport,
tidak ada satu pasal pun yang secara eksplisit mengatur bahwa pemerintah
Indoensia dapat sewaktu-waktu mengakhiri Kontrak Freeport. Pun, jika Freeport
dinilai melakukan pelanggaran-pelanggaran atau tidak memenuhi kewajibannya
sesuai dengan kontrak. Sebaliknya, pihak Freeport dapat sewaktu-waktu mengakhiri
kontrak tersebut jika mereka menilai pengusahaan pertambangan di wilayah
kontrak pertambangannya sudah tidak menguntungkan lagi secara ekonomis.”
Jika dikatakan Indonesia sudah merdeka, dalam kasus
ini jelas terlihat bahwa kita masih dijajah oleh bangsa lain. Jika sudah
merdeka seharusnya kita mampu berdiri sendiri, mampu mengelola dan bekerja sama
dengan negara lain secara sehat dan transparan dengan mengetahui akan keuntungan
yg akan dilahirkan dari kerjasama tersebut, bukan “dibodohi”.
Yang seharusnya saat ini dilakukan pemerintah
adalah harus berani mengambil langkah tegas menindak Freeport yang jelas-jelas
telah melanggar hukum. Sementara dasar hukum untuk itu sudah tersedia.
Undang-Undang tentang Lingkungan Hidup, Undang-Undang Kehutanan dan Perpajakan
dapat dipergunakan bila memang ada niat baik dari pemerintah untuk menghentikan
ulah Freeport ini. Langkah pertama, dengan melakukan audit lingkungan dan audit
keuangan terhadap Freeport.
Posted by : Dwi
Septiandika/25209336/4EB07
Sumber
Refrensi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar